And then life gave me a lemon.
Saturday, August 29, 2015 @ 7:59 PM
| 0 notes
I thought it was fun.
Setiap pagi aku membuka mata, aku bertanya-tanya mengapa tidak ada Mama yang mengetuk pintuku dan berkata "Sha, sudah siang. Sholat shubuh nak." Kemudian aku sadar, oh iya, ini bukan di rumah.
Lalu aku ingat pekikan tawa dan derap langkah yang biasanya membuatku kesal setengah mati. Tapi anehnya sekarang aku rindu. Aku rindu memergoki kedua adikku sedang bermain di atas tempat tidurku, menghamburkan segala sesuatu yang mereka bisa. Padahal ketika di rumah aku sering marah-marah pada mereka, tapi sekarang, demi Tuhan aku tidak masalah jika harus mendengarnya berjam-jam sekalipun.
Keluargaku memang sering bepergian tanpaku, membuat aku yakin benar bahwa mudah bagiku untuk hidup sendiri. Tetapi ketika bukan melodi gitar dan alunan bunyi lagu Iwan Fals dari bibir Papa yang biasa kudengar ketika keluar kamar membuatku sesak.
Ketika berjalan ke dapur, bukan lagi harum makanan enak yang tercium. Tidak ada lagi pertanyaan yang terlontar seperti "Masak apa, ma?" melainkan hanya senyum meringis, mengingat bahwa Mama tidak disini untuk aku tanyai.
Ketika hari Minggu datang, biasanya aku selalu bertanya "Ma, Pa, hari ini jalan kemana?" Tapi sekarang aku cuma bisa bertanya "Hari ini biar tidak sepi harus berbuat apa?" kepada diri sendiri.
Ternyata aku salah, ini tidak ada asiknya sama sekali. Setiap malam ketika letih, aku teringat wajah-wajah mereka yang mengeluarkan air mata ketika meninggalkanku sendiri waktu itu. Waktu itu aku juga menangis. Aku pikir saat itu pertama dan terakhir aku akan menangis, aku tidak menyangka bahwa setiap aku memikirkan rumah aku akan selalu mengeluarkan air mata.
Semenjak disini, aku takut sekali dilahap sepi.
And then life gave me a lemon.
Saturday, August 29, 2015 @ 7:59 PM
| 0 notes
I thought it was fun.
Setiap pagi aku membuka mata, aku bertanya-tanya mengapa tidak ada Mama yang mengetuk pintuku dan berkata "Sha, sudah siang. Sholat shubuh nak." Kemudian aku sadar, oh iya, ini bukan di rumah.
Lalu aku ingat pekikan tawa dan derap langkah yang biasanya membuatku kesal setengah mati. Tapi anehnya sekarang aku rindu. Aku rindu memergoki kedua adikku sedang bermain di atas tempat tidurku, menghamburkan segala sesuatu yang mereka bisa. Padahal ketika di rumah aku sering marah-marah pada mereka, tapi sekarang, demi Tuhan aku tidak masalah jika harus mendengarnya berjam-jam sekalipun.
Keluargaku memang sering bepergian tanpaku, membuat aku yakin benar bahwa mudah bagiku untuk hidup sendiri. Tetapi ketika bukan melodi gitar dan alunan bunyi lagu Iwan Fals dari bibir Papa yang biasa kudengar ketika keluar kamar membuatku sesak.
Ketika berjalan ke dapur, bukan lagi harum makanan enak yang tercium. Tidak ada lagi pertanyaan yang terlontar seperti "Masak apa, ma?" melainkan hanya senyum meringis, mengingat bahwa Mama tidak disini untuk aku tanyai.
Ketika hari Minggu datang, biasanya aku selalu bertanya "Ma, Pa, hari ini jalan kemana?" Tapi sekarang aku cuma bisa bertanya "Hari ini biar tidak sepi harus berbuat apa?" kepada diri sendiri.
Ternyata aku salah, ini tidak ada asiknya sama sekali. Setiap malam ketika letih, aku teringat wajah-wajah mereka yang mengeluarkan air mata ketika meninggalkanku sendiri waktu itu. Waktu itu aku juga menangis. Aku pikir saat itu pertama dan terakhir aku akan menangis, aku tidak menyangka bahwa setiap aku memikirkan rumah aku akan selalu mengeluarkan air mata.
Semenjak disini, aku takut sekali dilahap sepi.